Selasa, 18 Oktober 2016

Cara Belajar Spiritual: Makrifat dulu Vs Syariat dulu

Nah, sekali-kali saya bikin status yang lumayan berani. Berani dalam arti menyinggung orang. Karena istilah berani bagi saya adalah berani mengendalikan diri, dimana selama ini saya cenderung sopan. Tetapi, mengingat banyak ahli spiritual yang melenceng, maka saya juga harus tegas.

Belajar spiritual dari tahap syariat, maka hasilnya 10 % berhasil sampai makrifat dan 90 % mentok di syariat. Ini contohnya yang belajar agama dari kecil. Ini contohnya Kyai , Biksu, Romo, dll. Mereka yang 10 %. Tetapi, jamaahnya hanya mentok di tataran syariat (yang 90 %). Maka, jika ada pembaca yang ada pada lingkaran 90 % ini, keluarlah dan cobalah untuk berkembang.

Belajar spiritual langsung ke tahap makrifat, maka hasilnya 1 % berhasil 99 % tersesat. Ini tidak termasuk yang beruntung langsung dapat guru spiritual yang yahud lho. Berapa banyak yang wadahnya belum kuat terus gila dan membunuh anaknya sendiri sebagai "penyempurna ilmu"?. Maunya seperti Nabi Ibrahim, padahal pembisiknya setan, bukan Malaikat Jibril. Berapa banyak yang terjebak duniawi, pelet, rampok, santet, dll? Yang hampir semuanya adalah para pelaku spiritual.

Saya mencontohkan lagi seorang Guru Kedaerahan yang memiliki 150.000 pengikut. Guru Kedaerahan ini yang mengakui kekuatan tertinggi adalah penguasa salah satu laut. Maka, ybs mentok di situ. Apakah tidak ada yang menguasai laut lebih luas lagi? Langit? Bumi? Gunung? Lalu, bagaimana dengan pengikutnya? Otomatis akan lebih jauh di bawah beliau. Guru ini bisa sampai dunia roh dan malaikat/ bidadari, tapi belum bisa sampai dunia Dewa/ Tuhan. Lalu, bagaimana pengikutnya? Lebih rendah lagi. Kalau ada pembaca yang berada dalam lingkaran ini, keluarlah, cobalah untuk berfikir. Saya cukup prihatin dengan hal ini.

Lalu, bagaimana yang betul? Dua- duanya ditempuh. Dan saat belajar, kosongkan "gelas" anda. Karena jika anda sudah merasa hebat, maka artinya anda juga sudah "mentok". Begitupun jika anda telah mengikuti guru yang salah. Saya menyebutnya guru, karena ilmu tidak ada yang salah, tinggal cara dan tujuan menggunakannya. Misalnya, ilmu kebal apakah untuk merampok atau untuk mengusir penjajah? Dll. Nah, saat anda mengikuti guru yang salah padahal anda mati- matian membelanya, maka anda juga sudah "mentok". Karena itu, kosongkan gelas anda dan terimalah nasihat atau ilmu orang lain kemudian disaring lagi. Barulah anda di suatu titik bisa menemukan "dewa ruci", guru spiritual sejati.

2 komentar: